Bulir
– bulir tangis bidadari sudah mulai terasa, begitu sewaktu kecil ibu bercerita
bahwa hujan adalah tangis seorang bidadari yang kesepian. Malam ini bulan tidak
begitu kelihatan gara – gara awan hitam yang semakin membuat malam ku mencekam.
Malam
ini memang terlalu gelap untukku, jika saja tidak ada dia. Malam ini dingin dan
hampa tanpa taburan bintang. Jam sudah terlalu cepat berputar, tak ada dia yang
aku tunggu sejak senja tadi. Rintik rintik kecil menyembul diantara tanah
hingga bau harum bumi mulai bisa aku cium. Malam ini gelap segelap – gelapnya.
Petir
sudah membeludak diantara awan – awan hitam itu di langit, ketakutan yang aku
rasa embuat aku lebih memilih terduduk menyempit mencari kehangatan. Dalam
alunan hujan aku membayangkan sosoknya, tiap pelukan hangat yang mungkin bisa
menemani mala mini yang nyatanya tidak kudapatkan malam ini.
Sudah
pukul delapan dan dia pun belum datang, hingga aku putus asa bahwa dia memang
tak datang.
Namun, tiba – tiba pintu terbuka, seseorang dengan berlumuran air
hujan tengah menggigil dan langsung ku berikan handuk kering lantas aku
persilahkan dia mengeringkan badannya.
Dia
telah hadir, seseorang yang sejak tadi aku tunggu di malam minggu ini. Usai
mengeringkan badannya dan mengganti pakaiannya dia duduk disampingku, dengan
lembut dia merangkul aku, meyakinkan bahwa dia akan membuatku nyaman di hujan
kali ini, yang membuatku takut dan sepi.
Hujan semakin deras, aku semakin dibalutnya dengan hangat. Malm ini aku tak begitu sepi seperti malam sebelumnya, sebelum aku memilikinya. Tanpa malu tanpa ragu aku mencium bibirnya yang manis itu. Aku dan dia berada di malam panjang yang hangat, mungkin hujan kali ini bidadari bukan menangis karena kesepian, mungkin dia tengah menangis karena cemburu menyaksikan aku memadu rasa dengan pangeran tanpa mahkota itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar